Monday, February 20, 2012

Kesungguhan Dalam Hati

"Semua tampak gelap. Hanya cahaya lilin yang nampak. Seiring waktu aku mulai terbiasa dalam suasana gelap malam itu. 


Sunyi, tenang, nyaman sungguh hampir membuatku tertidur. Memang bukan waktu dan tempat yang tepat. Saat yang lain merenung, dengan tangis menyesal.
Aku duduk menuduk sambil sesekali memejamkan mata, mengantuk. Aku bukan anak bandel yang selalu mebuat onar, tapi juga bukan anak yang sungguh patuh pada aturan.


Jahatkah aku? Ketika sama sekali tak punya rasa malu, tak merasa bersalah. Aku tidak menyesal. Tangis bukan tanda kamu lemah. Tapi tangis itu membuatku sadar, mereka benar-benar menyesal. AKU? Terdiam bingung apa yang harus dilakukan. Hatiku mungkin terlalu keras. Ya mungkin itu kenyataannya. Aku sungguh membuat benteng yang begitu kokoh supaya orang lain tak dapat melihat ke dalam. 


Aku melihatnya, aku melihat mereka. Tampak begitu sedih dengan wajah frustasi. Ada apa? Aku tak tahu, tak ada yang tahu. Tak ada perkataan, hanya ada isak tangis disertai doa tulus dalam hati. Bahunya berguncang, nafasnya tak teratur. Aku sungguh ingin merengkuhnya, mendengar semua ceritanya. Bisakah?"



Sunday, February 19, 2012

Antara Kau dan Dia (part 1)

"Permisi..."


Kudengar suara seseorang disertai ketukan pintu. Seketika aku membeku. Aku mengenal suara itu, aku hanya bertemu dengannya sekali dan mendenger suaranya via telpon beberapa kali. Namun firasatku mengatakan itu DIA. Aku yakin itu dia. Dan aku berlari kedalam memanggil Ibu karena terlalu takut membukakan pintu.


"Siapa ra?"
"Ngga tau. Ibu aja deh yang bukain pintu." kataku menutupi yang sebenarnya.


Kubuka jendela kamarku dan kulihat seorang gadis berdiri menunduk di depan pintu rumahku. Ia mengenakan jaket tipis dipadu dengan celana jeans santai.


"Permisi Bu, Etta ada?
"Eh? Ettanya lagi keluar." kata Ibuku sedikit terkejut.
"Kemana Bu?" Suaranya nyaris tak terdengar karena tangis.
"Main futsal sama anak-anak. Mbak Na sendirian?"
"Ngga. Sama Om."


Lalu kudengar Ibu mempersilahkan Mbak Na masuk. Ada seorang lelaki dibelakangnya. Nampak tua, berkacamata dengan tubuh tinggi besar.


Sebulir air menetes. Lagi, lagi dan lagi
Mereka tampak begitu bahagia meluncur di wajahnya. Ia tampak pucat, diam sambil terisak. Entah suaranya pergi kemana. Ia tak dapat berkata-kata.


Aku tak mampu berkata. Duduk terdiam dikamarku sambil mencoba mencerna pembicaraan mereka. Aku tak mengerti apapun dan tak dapat melakukan apapun. Hanya satu yang kuminta. Semua akan baik-baik saja. Harus baik-baik saja.


Aku tersenyum kecut, "Kalau begini susah kan? Mau gimana coba?"
Perbedaan ini membuat semuanya makin rumit. Cinta. Ya satu kata seribu makna yang mebuat orang tertawa menangis, dan berjuta perasaan lain. Itu dia sumber masalah dari segalanya.


Aku tak pernah begitu peduli apa masalahnya. Namun jauh dalam hatiku aku sungguh tak mau kehilangan dia. Sungguh, jangan.


Tiba-tiba Ibu menghampiriku,"Ra, telponin Mas Etta dong, kasian Mbak Na"
"Ngga mau ah. Ibu aja. Rara ga punya pulsa.", jawabku beralasan.


Aku tak pernah benar-benar mengenalnya. Yang kutau dia kakakku. Seorang kakak yang baik yang dulu sering mengajakku berkeliling komplek naik sepeda, yang dulu sering membuatku menangis saat dia pergi tanpa mengajakku, yang dulu sering mengeluh karena harus menjagaku. Tapi itu dulu. Sekarang? haha Dia layaknya guru les privat yang lebih sering bolosnya dari pada datangnya hihi. Ya itulah kami. Tak pernah bertengkar, jarang bertemu, jarang berkomunikasi.


****


"Mas, Mbak Na di rumah nih, kamu mau pulang ngga?", samar-samar aku mendengar suara Ibu. Sebentar lalu hubungan diputus. Aku berharap itu yang terjadi. Semuanya harus diputus. Berhenti sampai disini. Mungkinkah?


*BERSAMBUNG...*


*yak mas-mas, mbak-mbak, temen-temen, om-om, tante-tante. maaf ceritanya sangat amat teramat sangat menggantung. Insipirasi mentok. Ditunggu ya lanjutannya.. Semoga masih ada kelanjutan ceritanya heheh*